Selasa, 16 November 2010

Industri Otomotif Nasional

Ancaman ketersediaan minyak bumi serta isu pemanasan global merupakan dua hal terpenting yang mempengaruhi kebijakan industri otomotif dunia saat ini. Hemat energi dan ramah lingkungan menjadi standard utama bagi kendaraan, terutama di negara maju. Guna mengantisipasi tuntutan tersebut, raksasa otomotif seperti Toyota memilih strategi diversifikasi produk (Coup, 1999). Strategi semacam ini cukup tepat mengingat belum matangnya sumber energi selain minyak bumi yang berkorelasi pada masih mahalnya sumber-sumber energi baru tersebut.
Strategi industri otomotif dunia dalam mengantisipasi tuntutan mutakhir tersebut umumnya bermuara pada tiga hal: (1) Perbaikan efisiensi dan karakteristik mesin pembakaran dalam (Internal Combustion Engine-ICE) yang sudah ada saat ini, (2) Kombinasi, baik antar berbagai sumber energi, seperti bensin-bioethanol, solar-biofuel, dan sebagainya, maupun antar teknologi energi, seperti ICE konvensional dengan motor elektrik, (3) Penggunaan sumber dan teknologi energi baru, seperti fuel cell vehicleberbahan bakar hidrogen.
Kecenderungan lain sektor otomotif dunia adalah penyebaran divisi manufaktur dan perakitan di berbagai negara yang besar jumlah penduduknya serta memiliki pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Langkah ini awalnya muncul karena regulasi negara-negara yang menjadi sasaran industri otomotif dunia (seperti ketentuan Local Content Requirements-LCRs, dan sebagainya), namun belakangan, usaha untuk menekan biaya produksi menjadi motif utama pendirian divisi manufaktur dan perakitan tersebut (Ivarsson, 2005). 
Namun demikian, divisi riset dan pengembangan (R&D) yang merupakan jantung pertumbuhan industri otomotif umumnya masih dikendalikan dan berposisi di negara prinsipal. Selain memudahkan strategi pengembangan industri dalam menghadapi perubahan global yang saling kait-mengkait, pemosisian divisi R&D di negara prinsipal bisa juga dipahami sebagai usaha proteksi terhadap eksistensi prinsipal otomotif.
Bila ukuran kemandirian industri otomotif diukur dari keberadaan pabrik manufaktur atau perakitan kendaraan bermotor, Indonesia boleh berbangga karena berbagai merek kendaraan ternama dunia telah mendirikan pabrik manufaktur dan atau perakitan di tanah air. 
Namun bila ukuran kemandirian tersebut dilihat dari sisi penguasaan teknologi beserta keleluasaan dalam pengembangannya, kenyataan menunjukkan bahwa berbagai industri otomotif yang ada saat ini secara mayoritas masih dikendalikan oleh tiga pemain utama otomotif dunia yaitu Jepang, Eropa, dan Amerika. Raksasa otomotif dari Negeri Sakura, yakni Toyota, Mitsubishi, Suzuki, Isuzu, dan Daihatsu, adalah lima besar industri otomotif Indonesia saat ini.
Saat ini jelas tidak mudah untuk mendirikan industri otomotif dalam negeri di tengah persaingan ketat antar raksasa otomotif dunia. Belum lagi, regulasi perdagangan internasional saat ini yang semakin mengarah ke perdagangan bebas (free-trade), sudah barang tentu mempengaruhi ruang gerak pemerintah dalam memberikan proteksi, terhadap bibit industri otomotif dalam negeri. 
Namun jelas pula, bahwa tidak mudah bukan berarti tidak mungkin. Pilihan ke arah kemandirian industri otomotif nasional harus menjadi cita-cita seluruh komponen bangsa. Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakanginya yaitu (1) Secara alamiah, prinsipal lebih mengutamakan kepentingan bisnis globalnya dibandingkan dengan kepentingan bangsa Indonesia. Hal ini berimplikasi pada tidak mudahnya aspirasi lokal menembus desain otomotif di negara principal, (2) Tidak berjalannya mekanisme kemitraan bisnis dan teknologi yang sungguh-sungguh dan sistematis dari prinsipal ke supplier lokal. Globalisasi otomotif yang berimplikasi pada mobilitas produk trans-nasional menuntut kualitas komponen yang tinggi. Logis bahwa prinsipal lebih memilihsupplier trans-nasional yang memenuhi standar prinsipal dibandingkan harus membimbing supplier lokal untuk mencapai standar tertentu. Belum lagi bila kepentingan nasional prinsipal turut berperan dalam pengambilan keputusan pemilihan supplier komponen. Dalam bisnis, ini hal yang biasa. Namun dalam kerangka kepentingan nasional, ini tidak menguntungkan karena menyebabkan tidak terbangunnya industri pendukung otomotif. (3) Ketergantungan penuh dengan prinsipal asing akan menyulitkan Indonesia untuk catch-up dengan teknologi otomotif mutakhir yang hemat energi dan ramah lingkungan dalam rangka memenuhi kepentingan nasional. 
Pemerintah, sebagai operator utama negara, harus memiliki konsep yang jelas dalam pentahapan kemandirian industri otomotif nasional. Tak pelak lompatan katak teknologi energi merupakan satu pilihan logis, yatiu (1) Pada tahap awal, pemerintah perlu mendorong kalangan swasta nasional untuk menjadi pelaku utama penguasaan teknologi otomotif. Sebenarnya saat ini kalangan swasta Indonesia telah melakukan lompatan katak pertama berupa kerjasama dan lisensi. Texmaco merupakan satu contoh swasta nasional yang serius dalam penguasaan teknologi otomotif (truk). (2) Pendayagunaan dan kerjasama yang terprogram antar sumber daya yang ada di berbagai lembaga riset pemerintah ataupun antara lembaga riset dengan kalangan swasta nasional guna penguasaan teknologi otomotif mutakhir. Hasil lain dari tahap ini diharapkan munculnya pemain-pemain baru-lokal yang berkualifikasi sebagai supplier otomotif nasional dan global. (3) Berhasilnya penguasaan teknologi serta bermunculannyaqualified local supplier akan memudahkan swasta nasional Indonesia mendirikan industri otomotif dalam negeri.
Menilik fasilitas dan kemampuan sumber daya di bidang teknologi yang dimiliki Indonesia saat ini, lompatan katak otomotif ini (seharusnya) tidaklah sesulit usaha putra-putri bangsa menguasai teknologi dirgantara. Kemauan yang kuat, sinergi, dan konsistensi dari seluruh komponen bangsa, merupakan kata kunci untuk mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar